Kamis, 19 Februari 2009

prabu siliwangi babak 2

Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Dialihkan dari Kerajaan Sunda)
Langsung ke: navigasi, cari
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.

Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh adalah dua kerajaan yang merupakan pecahan dari Kerajaan Tarumanagara. Dalam catatan perjalanan Tome Pires (1513), disebutkan bahwa ibukota kerajaan (Dayo, dari bahasa Sunda dayeuh, kota) Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung. Keterangan mengenai keberadaan kedua kerajaan ini juga terdapat pada beberapa prasasti. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Daftar isi

[sembunyikan]

* 1 Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
o 1.1 Pembagian Tarumanagara
o 1.2 Lokasi ibukota Sunda
o 1.3 Keterlibatan Kalingga
* 2 Prasasti Jayabupati
o 2.1 Isi prasasti
o 2.2 Tanggal prasasti
* 3 Penyebab perpecahan
o 3.1 Sanna dan Purbasora
o 3.2 Sanjaya dan Balangantrang
o 3.3 Premana, Pangreyep dan Tamperan
o 3.4 Tamperan sebagai raja
o 3.5 Manarah dan Banga
* 4 Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
* 5 Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya
* 6 Daftar raja-raja Sunda-Galuh
o 6.1 Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
o 6.2 Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
o 6.3 Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
* 7 Hubungan Kerajaan Sunda-Galuh dan Berdirinya Majapahit
* 8 Pemisahan dan Penyatuan Kembali Kerajaan Sunda-Galuh
* 9 Garis waktu kerajaan di Jawa Barat dan Banten
* 10 Referensi
* 11 Bacaan selanjutnya
* 12 Pranala luar

//

[sunting] Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh

[sunting] Pembagian Tarumanagara

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, di tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba
(ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara
menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh
Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan
Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara
dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh
bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima
dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara,
Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Di tahun 670 M, wilayah Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Lihat pula: Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kalingga.

[sunting] Lokasi ibukota Sunda

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.[1] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi.
Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan
dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun
dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi
prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih
yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan
kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak
yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.

[sunting] Keterlibatan Kalingga

Karena
putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera
mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris
kerajaan. Suami puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan
Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda
ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu
Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.

Sebagai ahli waris Kalingga, Sanjaya kemudian juga menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno)
dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada
puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan
Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

[sunting] Prasasti Jayabupati

[sunting] Isi prasasti

Telah
diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula
dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri
atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk
menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi.
Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di
dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam
huruf dan bahasa Jawa Kuno.
Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor
kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama
(menurut Pleyte):

D 73 :
//O// Swasti
shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka.
ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri
jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya
shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa,
ma-

D 96 :
gaway tepek i purwa
sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang
tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini
lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan
ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan
pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:

Selamat.
Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari
Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja
Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa,
membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri
Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai
dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah
hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon
besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah
yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat
(D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di
dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang
menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua
kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu
ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

[sunting] Tanggal prasasti

Tanggal
pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030.
Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah
selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam
segala hal menunjukkan corak Jawa Timur.
Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang
mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri
Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya
Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

[sunting] Penyebab perpecahan

Telah
diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan
Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan
sumber berita Tiongkok
yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi
negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan
yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669
M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun
591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.

[sunting] Sanna dan Purbasora

Tarusbawa
adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh
ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti
Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya
menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari
tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu
Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja,
pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun
dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya
Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara
Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat
menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong.
Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena
itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari
Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta
Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah
hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Shima.

[sunting] Sanjaya dan Balangantrang

Sanjaya,
anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap
keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat
Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah
atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan
khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga
sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya,
sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan
malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora
gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang
menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu
bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia
merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu
Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang
Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita
"kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten
dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat
dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar
Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya
sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya
mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga
Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak
berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk
menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia
segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta
beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh.
Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau
hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya
sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui
keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan
sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang
disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan
di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana
Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan
sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah
dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan
bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

[sunting] Premana, Pangreyep dan Tamperan

Penunjukkan
Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain
itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami
istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan
kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri
memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia
baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau
Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara.
Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari
ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya
dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk
mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di
Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep,
puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya,
Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di
ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh
karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya
memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan
yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap
musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima
oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus
dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja
Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada
Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka
ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan
Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya,
Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih
Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan
mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia
terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan
kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi
karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19
tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia
sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama
cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita
batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.

Untuk
menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan
sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh
pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki
Balangantrang.

[sunting] Tamperan sebagai raja

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram
dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia
mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru
Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan
Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan,
putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa
Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M.
Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan
rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki
Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak
tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai
dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari
bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir,
termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam
gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger
Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu
singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai
Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk
Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan
bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan
Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh
pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah.
Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan
kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan
permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga
menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.

[sunting] Manarah dan Banga

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah),
yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun
Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang
juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu
sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan
yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan
Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir
646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh
dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada
Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan
Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah
kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja
bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu.
Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk
memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit
Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja
Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh
dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

[sunting] Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya

Naskah
tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad
ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun
parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan
diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil
menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari
kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya
(739-766).

Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu
Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan
memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[2] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya,
yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai
akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam
naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan.
Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga
dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah
raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah
dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru,
yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok
dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.

Keturunan
Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 -
852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus
alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja
Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan
pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai
akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan
Kuningan (Saunggalah).

[sunting] Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya

Sri
Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda
yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang
puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.
Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari
mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam
prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa
tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan
Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan
yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya,
Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa
tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa
diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya.
Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan
tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini.
Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana)
disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M.

[sunting] Daftar raja-raja Sunda-Galuh

[sunting] Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20 orang :
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Maharaja Tarusbawa 669-723
2 Sanjaya Harisdarma 723-732 cucu-menantu no. 1
3 Tamperan Barmawijaya 732-739
4 Rakeyan Banga 739-766
5 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766-783
6 Prabu Gilingwesi 783-795 menantu no. 5
7 Pucukbumi Darmeswara 795-819 menantu no. 6
8 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891
9 Prabu Darmaraksa 891-895 adik-ipar no. 8
10 Windusakti Prabu Dewageng 895-913
11 Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913-916
12 Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa 916-942 menantu no. 11
13 Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942-954
14 Limbur Kancana 954-964 anak no. 11
15 Prabu Munding Ganawirya 964-973
16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973-989
17 Prabu Brajawisesa 989-1012
18 Prabu Dewa Sanghyang 1012-1019
19 Prabu Sanghyang Ageng 1019-1030
20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030-1042

Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

[sunting] Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang :
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Wretikandayun 670-702
2 Rahyang Mandiminyak 702-709
3 Rahyang Bratasenawa 709-716
4 Rahyang Purbasora 716-723 sepupu no. 3
5 Sanjaya Harisdarma 723-724 anak no. 3
6 Adimulya Premana Dikusuma 724-725 cucu no. 4
7 Tamperan Barmawijaya 725-739 anak no. 5
8 Manarah 739-783 anak no. 6
9 Guruminda Sang Minisri 783-799 menantu no. 8
10 Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan 799-806
11 Sang Walengan 806-813
12 Prabu Linggabumi 813-852
13 Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819-891 ipar no. 12

Catatan: Sanjaya
Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di
Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh
dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).

[sunting] Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Darmaraja 1042-1065
2 Langlangbumi 1065-1155
3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur 1155-1157
4 Darmakusuma 1157-1175
5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu 1175-1297
6 Ragasuci 1297-1303
7 Citraganda 1303-1311
8 Prabu Linggadéwata 1311-1333
9 Prabu Ajiguna Linggawisésa 1333-1340 menantu no. 8
10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa 1340-1350
11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa 1350-1357 tewas dalam Perang Bubat
12 Prabu Bunisora 1357-1371 paman no. 13
13 Prabu Niskala Wastu Kancana 1371-1475 anak no. 11
14 Prabu Susuktunggal 1475-1482

[sunting] Hubungan Kerajaan Sunda-Galuh dan Berdirinya Majapahit

Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota RAKEYAN JAYADARMA, dan berkedudukan di Pakuan.

Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3: RAKEYAN JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan putrinya MAHISA CAMPAKA bernama DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan SINGHASARI.

Rakeyan
Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA
atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Dengan
kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes.
Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia
tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke
Jawa Timur.

Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN
yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma
mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa
Timur. Jadi, sebenarnya, RADEN WIJAYA, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah
penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda Galuh apabila Prabu Guru
Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat.

[sunting] Pemisahan dan Penyatuan Kembali Kerajaan Sunda-Galuh

Saat
Wastu Kancana wafat, kerajaan kembali dipecah dua diantara anak-anaknya
yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala
yang berkuasa di Kawali (Galuh). Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh
akhirnya benar-benar menyatu dalam pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal, dan sejak itu kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.

[sunting] Garis waktu kerajaan di Jawa Barat dan Banten



PAKUAN IBUKOTA KERAJAAN SUNDA (2)

B. KERAJAAN SUNDA SAMPAI MASA SRI JAYABUPATI

Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat
pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini
terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan 4 buah batu untuk
menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih
di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat kampung Bantar Muncang,
sebuah ditemukan di dekat kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini
adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu
sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari
Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

D 73 : //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi
shuklapa- ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan
sunda ma- haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti
samarawijaya shaka- labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-
mottunggadewa, ma-

D 96 : gaway tepek i purwa sanghyang tapak
ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani
baryya baryya shila.irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia
sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan
pinagawayaken prasasti pagepageh. mangmang sapatha. D 97 : sumpah
denira prahajyan sunda. lwirnya nihan

Terjemahannya
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika
tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon,
Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda
Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro
Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda
di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh
Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang
melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan
(ada yang) menangkap ikan di sebelah sini
sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak
sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah
pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar.
Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan
dengan Sumpah. Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda
lengkapnya demikian.

Batu prasasti keempat (D 98) berisi sumpah atau kutukan Sri Jayabupati
sebanyak 20 baris yang intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan
di surga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi
ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu
agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya,
memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup denga
kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu
para hiyang semuanya).

Kehadiran Prasasti Jayabupati di
daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah it. Namun dugaannya tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan
pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang
Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir
Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak Ibukota
Tarumanagara.

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati
bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III
sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka
(1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak
JAWA TIMUR. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar
raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa.
Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama
Prebu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja
Tarusbawa.

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda
adala pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini
sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan
Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M.
Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya
kepada raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal
9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka (kira-kira bertepatan dengan
tanggal 18 Mei 669 M).

Tarusbawa adalah sahabat baik
Bratasenawa alis SENA (709 - 716 M) Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah
tokoh Sanna ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan
ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya.
Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh
Purbarosa dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari
puteranya yang sulung bernama Batara Danghyang Guru Sempakwaja pendiri
kerajaan Galunggung, sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari
puteranya yang bungsu bernama Mandiminyak raja Galuh kedua (702 - 709
M). Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena
hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh
Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja
Galuh karena ‘ompong’ (seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani).
Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari
Wretikandayun. Akan tetapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas
Tahta Galuh. Lagi pula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah
menambah hasrat Purbasora untuk merebut Tahta Galuh dari Sena. Dengan
bantuan pasukan dari mertuanya, raja Indraprahasta (di daerah Cirebon)
Purbasora melancarkan perebutan Tahta Galuh. Sena melarikan diri ke
Kalingga (istri Sena, Sanaha, adalah cucu Maharani Sima ratu Kalingga).

Sanjaya (anak Sena) berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora.
Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (sahabat Sena). Hasratnya
dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama
istrinya. Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah
Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal yang juga sahabat baik Sena.
Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda
dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam
dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil
meloloskan diri hanyalah Patih Galuh (menantu Purbasora) bersama
segelintir pasukan. Ia bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki
Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan.

Balangantrang adalah juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama
Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul. Tokoh inipun tak bisa
menggantikan Wretikandayun karena menderita "KEMIR" (Hernia).
Balangantrang bersembunyi di kampung Geger Sunten dan dengan diam-diam
ia menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari
raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprhasta
setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan
karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya
mendapat pesan dari ayahnya (Sena), bahwa kecuali Purbasora, anggota
keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri
tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya
untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora,
ia segera menghubungi Sempakwaja (uanya= kakak ayahnya) di Galunggung
dan meminta beliau agar Demunawan(adik Purbasora) direstui menjadi
penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena
takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk
melenyapkan Demunawan. Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi
Balangantrang (putera Resi Jantaka) karena ia tak mengetahui
keberadaannya.

Akhirnya Sanjaya termpaksa mengambil hak untuk
dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh
kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus
berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia
menganngkat Premana Dikusuma (cucu Purbasora). Premana Dikusuma saat
itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun
683 M), ia telah dikenal sebagai rajaresi karena ketekunannya mendalami
agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat sajalajala.
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu
Purbasora. Selain itu, istrinya Naganingrum adalah cucu Ki
Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan
Jantaka (putera pertama dan kedua Wretikandayun).

[Pasangan
Premana dan Naganingrum memiliki putera bernama Surotama alias Manarah
(lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang
Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik
sebagai CIUNG WANARA. Kelak dikemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki
Balangantrang (buyut dari ibu) yang akan mengurai kisah sedih yang
menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk
melakukan pembalasan].

Untuk mengikat kesetiaan Premana
Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan
Raja Galuh ini dengan Dewi Pangreyep (puteri Anggada, Patih Sunda).
Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya (Tamperan) sebagai Patih Galuh
sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di Ibukota Galuh.

Premana
Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia
tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman,
baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak
mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan
Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong
angkatan tua yang harus dihormatinya. Kedudukan Premana serba sulit, ia
sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus
tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh Kakeknya.

Karena
kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk
bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus
juga meninggalkan istrinya (Pangreyep). Urusan pemerintahan
diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata
dan telinga" Sanjaya.

Tamperan mewarisi watak buyutnya,
Mandiminyak (Seneng bikin skandal Smile). Tamperan dan Pangreyep (Istri
Premana) terlibat skandal dan hasilnya adalah kelahiran Kamarasa alias
Banga (723 M). Skandal ini terjadi karena beberapa alasan, pertama
Pangreyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami
bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama
di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka
sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang
Sunda di Galuh kurang disenangi. [untuk menhapus jejak Tamperan
mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan
lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini
rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang]

Dalam
tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya.
Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian
kekuasaan antara puteranya (Tamperan) dan Resiguru Demunawan. Sunda dan
Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan
Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan (putera bungsu
Sempakwaja).

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa
Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M.
Sementara itu Manarah (Ciung Wanara) secara diam-diam menyiapkan
rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya Ki
Balangantrang di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak
tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai
dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari
bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir,
termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam
gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger
Sunten menyerang keraton. Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat
seperti peristiwa tahun 723 ketika sanjaya berhasil menguasai Galuh
dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangreyep termasuk Banga
dapat ditawan di gelanggang sabung ayam.

Bangga kemudian
dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan
dan Pangreyep dari tahanan. Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan
pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah
pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan
Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri
melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan
Tamperan dan Pangreyep.

Berita kematian Tamperan didengar
oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan
pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu
sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa
pasukan Indraprahasta (ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri)
dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai
oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun).
Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh
diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat
perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723
- 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu
ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang
senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia
bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah. Untuk memperteguh
perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan.
Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara
Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar
Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya berjodoh dengan Kancanasari adik
Kancanawangi.

Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy
(Bayongbong, Garut) yang ditulis dalam abad ke-13 atau ke-14
memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun Parit Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang
merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa
yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi
raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766). Manarah
di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam
tahun tersebut ia melakukan "Manurajasuniya" (mengundurkan diri dari
tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat) dan baru wafat
tahun 798 dalam usia 80 tahun.

[Dalam naskah-naskah babad,
posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan, tidak saja dalam hal usia
(Banga dianggap lebih tua), tetapi juga dalam penempatan mereka sebagai
raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah Raja-raja Pakuan selalu dimulai
dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai
tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis dalam pertengahan
abad 18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang
dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit, padahal Majapahit baru
didirikan oleh Wijaya dalam tahun 1293 (527 tahun setelah Banga wafat).
Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan WALANGSUNGSANG
dengan SAYIDINA ALI yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad].

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabu
Linggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya
yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891) cicit Banga
yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852
M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan
Banga sebagai akibat perkawinan diantara para kerabat keraton: Sunda;
Galuh dan Kuningan (Saunggalah).

Sri Jayabupati yang
prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia
putra Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya
dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Permaisuri Sri Jayabupati adalah
puteri Darmawangsa (adik Dewi Laksmi isteri Airlangga). Karena
pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya
(Darmawangsa). Gelar itulah yang dicantumkannya dalam Prasasti Cibadak.

[Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam
kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan
menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin
menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya (Darmawangsa). Pada
puncak krisis ia hanya menjadi ‘penonton’ dan terpaksa tinggal diam
dalam kekecewaan karena harus ‘menyaksikan’ Darmawangsa diserang dan
dibinasakan oleh raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu
akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan
ayahnya ‘diancam’ agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri
yang dalam prasasti Calcuta (disimpan di sana) disebut Pralaya itu
terjadi tahun 1019 M.

Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang:

1. Maharaja Tarusbawa 669 - 723 M
2. Sanjaya Harisdarma (cucu-menantu no. 1) 723 - 732 M
3. Tamperan Barmawijaya 732 - 739 M
4. Rakeyan Banga 739 - 766 M
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang 766 - 783 M
6. Prabu Gilingwesi (menantu no. 5) 783 - 795 M
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu no. 6) 795 - 819 M
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus 819 - 891 M
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. Cool 891 - 895 M
10. Windusakti Prabu Dewageng 895 - 913 M
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi 913 - 916 M
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (menantu no. 11) 916 - 942 M
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa 942 - 954 M
14. Limbur Kancana (putera no. 11) 954 - 964 M
15. Prabu Munding Ganawirya 964 - 973 M
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung 973 - 989 M
17. Prabu Brajawisesa 989 - 1012 M
18. Prabu Dewa Sanghyang 1012 - 1019 M
19. Prabu Sanghyang Ageng 1019 - 1030 M
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati 1030 - 1042 M

Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4) - Darmeswara (no. 7) yang
hanyaberkuasa di kawasan sebelat barat Citarum, raja-raja yang lainnya
berkuasa di Sunda dan Galuh


Hubungan Sunda-Galuh dan Sriwijaya

Sri
Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda
yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang
puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun
permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja
Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena
pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya,
Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja
Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya
sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu
Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi
antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia
hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan
karena harus “menyaksikan” Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh
Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya
serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam
agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam
Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun
1019 M.

1 komentar: